“AKU TAK SELALU MENDAPATKAN APA YANG KUSUKAI, OLEH KARENA ITU AKU SELALU BERSYUKUR”
Kata-Kata Diatas merupakan wujud syukur. Syukur merupakan kualitas hati yang terpenting. Dengan bersyukur kita akan senantiasa diliputi rasa damai, tentram dan bahagia. Sebaliknya, perasaan tak bersyukur akan senantiasa membebani kita. Kita akan selalu merasa kurang dan tak bahagia. Ada dua hal yang sering menciptakan kita tak bersyukur. Pertama : Kita sering memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang kita miliki. Katakanlah anda telah mempunyai sebuah rumah,kendaraan, pekerjaan tetap, dan pasangan yang terbaik. Tapi anda masih merasa kurang. Pikiran anda dipenuhi banyak sekali sasaran dan keinginan. Anda begitu terobsesi oleh rumah yang besar dan indah,mobil mewah, serta pekerjaan yang mendatangkan lebih banyak uang. Kita ingin ini dan itu. Bila tak mendapatkannya kita terus memikirkannya. Tapi anehnya, walaupun sudah mendapatkannya, kita hanya menikmati kesenangan sesaat. Kita tetap tak puas, kita ingin yang
lebih lagi. Jadi, betapapun banyaknya harta yang kita miliki, kita tak pernah menjadi “KAYA” dalam arti yang sesungguhnya.
Mari kita luruskan pengertian kita mengenai orang ”kaya”. Orang yang ”kaya” bukanlah orang yang mempunyai banyak hal, tetapi orang yang sanggup menikmati apapun yang mereka miliki. Tentunya boleh-boleh saja kita mempunyai keinginan,tapi kita perlu menyadari bahwa inilah akar perasaan tak tenteram. Kita sanggup mengubah perasaan ini dengan berfokus pada apa yang sudah kita miliki. Cobalah lihat keadaan di sekeliling Anda, pikirkan yang Anda miliki, dan syukurilah. Anda akan
merasakan nikmatnya hidup.
Pusatkanlah perhatian Anda pada sifat-sifat baik atasan, pasangan, dan orang-orang di sekitar Anda. Mereka akan menjadi lebih menyenangkan. Seorang pengarang pernah mengatakan, ”Menikahlah dengan orang yang Anda cintai, sehabis itu cintailah orang yang Anda nikahi.” Ini perwujudan rasa syukur. Ada dongeng menarik mengenai seorang kakek yang mengeluh alasannya ialah tak sanggup membeli sepatu, padahal sepatunya sudah usang rusak. Suatu sore ia melihat seseorang yang tak mempunyai kaki, tapi tetap ceria. Saat itu juga si kakek berhenti mengeluh dan mulai bersyukur.
Hal kedua yang sering menciptakan kita tak bersyukur ialah kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa orang lain lebih beruntung. Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari
kita. Saya ingat, pertama kali bekerja aku senantiasa membandingkan penghasilan aku dengan rekan-rekan semasa kuliah. Perasaan ini menciptakan aku galau dan gelisah. Sebagai mantan mahasiswa contoh di kampus, aku merasa gelisah setiap mengetahui ada mitra satu angkatan yang memperoleh
penghasilan di atas saya.Nyatanya, selalu saja ada mitra yang penghasilannya melebihi saya. Saya menjadi gemar bergonta-ganti pekerjaan, hanya untuk mengimbangi rekan-rekan saya. Saya bahkan tak peduli dengan jenis pekerjaannya, yang penting gajinya lebih besar. Sampai kesannya aku sadar bahwa hal ini tak akan pernah ada habisnya. Saya berubah dan mulai mensyukuri apa yang saya
dapatkan. Kini aku sangat menikmati pekerjaan saya.
Rumput tetangga memang sering kelihatan lebih hijau dari rumput di pekarangan sendiri. Ada dongeng menarik mengenai dua pasien rumah sakit jiwa. Pasien pertama sedang duduk termen ung sambil menggumam, ”Lulu, Lulu.” Seorang pengunjung yang keheranan menanyakan problem yang dihadapi
orang ini. Si dokter menjawab, ”Orang ini jadi gila sehabis cintanya ditolak oleh Lulu.” Si pengunjung manggut-manggut, tapi begitu lewat sel lain ia terkejut melihat penghuninya terus menerus memukulkan kepalanya di tembok dan berteriak,”Lulu, Lulu”. ”Orang ini juga punya problem dengan Lulu? ” tanyanya keheranan. Dokter kemudian menjawab,”Ya, dialah yang akhirnya
menikah dengan Lulu.”
Hidup akan lebih senang jika kita sanggup menikmati apa yang kita miliki. Karena itu bersyukur merupakan kualitas hati yang tertinggi. Saya ingin mengakhiri goresan pena ini dengan dongeng mengenai seorang ibu yang sedang terapung di maritim alasannya ialah kapalnya karam, namun tetap berbahagia. Ketika ditanya kenapa demikian, ia menjawab, ”Saya mempunyai dua anak laki-laki. Yang pertama sudah meninggal, yang kedua hidup ditanah seberang. Kalau berhasil selamat, aku sangat senang alasannya ialah sanggup berjumpa dengan anak kedua saya. Tetapi kalaupun mati tenggelam, aku juga akan berbahagia
karena aku akan berjumpa dengan anak pertama aku di surga.”
lebih lagi. Jadi, betapapun banyaknya harta yang kita miliki, kita tak pernah menjadi “KAYA” dalam arti yang sesungguhnya.
Mari kita luruskan pengertian kita mengenai orang ”kaya”. Orang yang ”kaya” bukanlah orang yang mempunyai banyak hal, tetapi orang yang sanggup menikmati apapun yang mereka miliki. Tentunya boleh-boleh saja kita mempunyai keinginan,tapi kita perlu menyadari bahwa inilah akar perasaan tak tenteram. Kita sanggup mengubah perasaan ini dengan berfokus pada apa yang sudah kita miliki. Cobalah lihat keadaan di sekeliling Anda, pikirkan yang Anda miliki, dan syukurilah. Anda akan
merasakan nikmatnya hidup.
Pusatkanlah perhatian Anda pada sifat-sifat baik atasan, pasangan, dan orang-orang di sekitar Anda. Mereka akan menjadi lebih menyenangkan. Seorang pengarang pernah mengatakan, ”Menikahlah dengan orang yang Anda cintai, sehabis itu cintailah orang yang Anda nikahi.” Ini perwujudan rasa syukur. Ada dongeng menarik mengenai seorang kakek yang mengeluh alasannya ialah tak sanggup membeli sepatu, padahal sepatunya sudah usang rusak. Suatu sore ia melihat seseorang yang tak mempunyai kaki, tapi tetap ceria. Saat itu juga si kakek berhenti mengeluh dan mulai bersyukur.
Hal kedua yang sering menciptakan kita tak bersyukur ialah kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa orang lain lebih beruntung. Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari
kita. Saya ingat, pertama kali bekerja aku senantiasa membandingkan penghasilan aku dengan rekan-rekan semasa kuliah. Perasaan ini menciptakan aku galau dan gelisah. Sebagai mantan mahasiswa contoh di kampus, aku merasa gelisah setiap mengetahui ada mitra satu angkatan yang memperoleh
penghasilan di atas saya.Nyatanya, selalu saja ada mitra yang penghasilannya melebihi saya. Saya menjadi gemar bergonta-ganti pekerjaan, hanya untuk mengimbangi rekan-rekan saya. Saya bahkan tak peduli dengan jenis pekerjaannya, yang penting gajinya lebih besar. Sampai kesannya aku sadar bahwa hal ini tak akan pernah ada habisnya. Saya berubah dan mulai mensyukuri apa yang saya
dapatkan. Kini aku sangat menikmati pekerjaan saya.
Rumput tetangga memang sering kelihatan lebih hijau dari rumput di pekarangan sendiri. Ada dongeng menarik mengenai dua pasien rumah sakit jiwa. Pasien pertama sedang duduk termen ung sambil menggumam, ”Lulu, Lulu.” Seorang pengunjung yang keheranan menanyakan problem yang dihadapi
orang ini. Si dokter menjawab, ”Orang ini jadi gila sehabis cintanya ditolak oleh Lulu.” Si pengunjung manggut-manggut, tapi begitu lewat sel lain ia terkejut melihat penghuninya terus menerus memukulkan kepalanya di tembok dan berteriak,”Lulu, Lulu”. ”Orang ini juga punya problem dengan Lulu? ” tanyanya keheranan. Dokter kemudian menjawab,”Ya, dialah yang akhirnya
menikah dengan Lulu.”
Hidup akan lebih senang jika kita sanggup menikmati apa yang kita miliki. Karena itu bersyukur merupakan kualitas hati yang tertinggi. Saya ingin mengakhiri goresan pena ini dengan dongeng mengenai seorang ibu yang sedang terapung di maritim alasannya ialah kapalnya karam, namun tetap berbahagia. Ketika ditanya kenapa demikian, ia menjawab, ”Saya mempunyai dua anak laki-laki. Yang pertama sudah meninggal, yang kedua hidup ditanah seberang. Kalau berhasil selamat, aku sangat senang alasannya ialah sanggup berjumpa dengan anak kedua saya. Tetapi kalaupun mati tenggelam, aku juga akan berbahagia
karena aku akan berjumpa dengan anak pertama aku di surga.”